Alkisah disebuah daerah dataran tinggi, berdirilah sebuah kerajaan bernama Kerajaan “Timbang Luhur”, yang dipimpin oleh seorang “ADIPATI KERAJAAN TIMBANG LUHUR” sang raja memiliki 2 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan, yang laki-laki bernama Sanghiang Puget dan Sanghiyang Pengging, dua putra mahkota yang gagah perkasa, dan yang perempuan dikenal dengan Putri Timbang Luhur seorang putri yang cantik jelita. Keistimewaan Sang Raja juga mempunyai seekor gajah peliharaan yang senantiasa menyertainya dalam setiap perjalanan, juga setia dan patuh pada setiap perintah sang raja.

Suatu saat terjadilah kemarau panjang, kekeringan terjadi di seluruh wilayah penjuru kerajaan, rakyat harus bersusah payah untuk mendapatkan air, kesengsaraan rakyat nampak pada wajah-wajah mereka, karena hasil tanaman bahan makanan pokok tak dapat dipanen. Maka dibuatlah saembara oleh sang raja. Kata sang Raja : “Barangsiapa yang bisa mendatangkan air untuk memenuhi kebutuhan rakyat maka akan dinikahkan dengan putri Timbang Luhur”.

Setelah dibuka saembara, maka munculah para jawara untuk ikut berpartisipasi dalam saembara memperebutkan putri kerajaan. Diantara para jawara yang muncul sebagai peserta saembara adalah sang raksasan yang bernama “BADUGANGJAYA” dan ternyata sang raksasa berhasil mendatangkan air kedaerah kerajaan timbang luhur dengan membuat sungai yang dapat mengalirkan air untuk kepentingan rakyat.

Akhirnya Sang raja menetapkan sebagai pemenang saembara adalah sang raksasa bernama “BADUGANGJAYA” yang berhak menikah dengan Putri Timbang Luhur. Sesuai dengan janjinya sang raja akan menikahkan putrinya dengan pemenang saembara, akan tetapi ketika mendengar bahwa calon suaminya adalah seorang raksasa,  sang putri menolaknya dan akhirnya melarikan diri menyusuri sungai yang dibuat oleh BADUGANGJAYA, sampailah pelarian sang putri pada suatu gua yang terletak di pinggir sungai yang terjal berupa tebing dan sang putri singgah untuk bersembunyi di gua tersebut yang hingga kini dikenal dengan Gua Putri (Liang Putri) di wilayah timur Desa Ciawigajah.

Karena sang putri melarikan diri maka sang raksasa “BADUGANGJAYA” menyusul dan menelusuri keberadaan sang putri calon istrinya, dalam perjalanannya sang raksasa terjatuh menimpa batu sehingga ada bekas telapak kaki dan kemaluannya, hingga sekarang dikenal dengan batu Badugngjaya yang terletak disebelah selatan Desa Ciawigajah, akhirnya sang raksasa  meninggal dunia.

Mendengar tewasnya sang raksasa dalam perjalanan pencarian sang putri, Raja Timbang Luhur mengutus dua orang putranya (Sanghiang Puget dan Sanghiang Pengging) untuk melanjutkan pencarian sang putri dengan mengendarai seekor gajah milik sang raja yang sangat setia.

Dalam perjalanannya sampailah dua putra mahkota raja timbang luhur didepan gua putri (liang putri) sebagai tempat persembunyian sang putri, yang didepannya tumbuh bambu-bambu kecil dan beristirahatlah dua orang putra mahkota raja beserta seekor gajahnya dibawah pohon bambu tersebut. Dalam peristirahatannya dua putra mahkota raja melihat pancaran air yang keluar dari bawah pohon bambu depan gua persis dibawah kaki gajah peliharaan raja Adipati Timbang Luhur. Dan akhirnya dua putra mahkota kerajaan tersebut menyebut wilayah tersebut dengan sebutan “CIAWIGAJAH”, Ci yang berarti air (cai), Awi yang berarti Bambu yang berada didekat gajah.

Pencarian belum selesai, perjalanan terus berlanjut hingga naik dan sampai kedataran yang lebih tinggi, beristirahat dua orang mahkota raja dan seekor gajahnya, dikenalah wilayah tersebut dengan sebutan “Munjul Gajah”, munjul yang berarti istilah daerah dataran yang agak tinggi dan terjal.

Perjalanan dilanjutkan kewilayah barat, dalam pencariannya sang gajah mengendus-endus bau bangkai, mereka mengira bahwa itu adalah bangkai sang putri hingga sekarang wilayah tersebut dikenal dengan sebutan “Gajah Ngambung” yang terletak di Desa Cibuntu Kecamatan Cigandamekar Kabupaten Kuningan.

Singkat cerita, bahwa dua mahkota raja tersebut tidak berhasil dalam melakukan misi pencarian sang putri, mereka memtuskan untuk tidak kembali ke kerajaan dan menetap diwilayah Ciawigajah,  yang konon katanya Sanghiyang Puget menganut agama Islam dan dimakamkan dipemakaman umum desa Ciawigajah dikenal dengan makam “Buyut Lurah” dan Sanghiang Pengging yang konon katanya beragama Hindu akhir hayatnya tidak diketahui karena menghilang diwilayah sarongge dan dikenal dengan “Buyut Sarongge”, yang lagi-lagi konon katanya sampai sekarang suka menampakan diri menjelma menjadi seekor harimau pertanda bahwa akan terjadi malapetaka di Desa Ciawigajah dan bersiap untuk menjaga Desa Ciawigajah dari malapetaka tersebut.

Kisah ini disusun berdasarkan informasi dari orang tua jaman dulu hingga sekarang, yang dasampaikan dari mulut ke mulut sebagai bahan pengetahuan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk penyempurnaan kisah ini, tentunya kami berharap saran dan kritik yang konstruktif, segala kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan sejarah ini, semata-mata karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan kami. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.